LELAH
Prolog
Vivi Astana, ia seorang gadis yang harus terlihat sempurna di mata orang tuanya sehingga ia dikekang dengan sangat ketat oleh orang tuanya. Jika ia mengikuti ulangan, ia harus mendapatkan nilai sempurna. Jika nilainya berkurang satu angka saja, maka dia tidak akan diberi makan oleh orang tuanya. Astana merupakan marga dari keluarga mereka. Marga Astana adalah marga orang terkaya nomor 3 di dunia dan memiliki kasta yang sangat tinggi.
Lelah, itu yang dirasakannya. Ia ingin bebas. Ia tidak mau dikekang lagi dan ia juga tidak mau selalu dituntut sempurna oleh orang tuanya. Ia hanya ingin bebas. Ia juga tidak bahagia di sekolahnya. Ia selalu dibuli dan juga tidak ada yang mau berteman dengannya.
Vivi mempunyai kembaran, namanya Vani Astana. Vani merupakan kembaran yang memperlakukan Vivi dengan baik. Ketika ia mempunyai masalah dengan orang tuanya, pasti Vani yang akan menenangkannya. Vani menjadi sandaran Vivi. Vani memang tidak terlalu pintar. Akan tetapi, dia disayang banyak orang, tidak seperti Vivi, ia hanya disayang oleh Vani.
Vivi, bisa dikatakan seperti anak culun. Ia memakai kacamata tebal berwarna hitam dan rambutnya dikepang menjadi dua. Kulitnya putih, rambutnya berwarna coklat keemasan, dan ia memiliki mata tajam berwarna biru muda bercampur biru tua. Bibir mungilnya berwarna merah seperti stroberi. Dia sangat berbeda dengan orang tuanya. Orang tuanya bermata coklat, sama seperti Vani.
* * * *
Kringg!! Kringg!!
Alarm Vivi berbunyi. Vivi segera bangun dari tidurnya. Ia bersiap-siap untuk bersekolah. Kemudian Vivi langsung menuju ke meja makan.
"Selamat pagi Ibu dan Ayah," sapa Vivi dengan lembut. Akan tetapi, orang tuanya tidak mempedulikan kehadiran Vivi. Mereka menganggap Vivi tidak berada di sana.
"Selamat pagi, Vani," sapa Vivi.
"Selamat pagi, kak Vivi. Ayo ke sini! Sarapan bersama Vani, ehehe," kata Vani dengan senyum cerianya.
"Ah, tidak usah Vani. Aku pergi dahulu ya!" pamit Vivi kepada Vani.
"Ya hati-hati ya Kak!" kata Vani. Kemudian Vivi segera berjalan kaki ke sekolah.
* * * *
Vivi telah sampai ke sekolahnya.
"Haah, halo dunia penyiksaan. I'm coming," kata Vivi. Kemudian ia melangkahkan kakinya masuk ke sekolah.
Saat ini Vivi sedang mengerjakan PR pembulinya. Ia sengaja datang cepat ke sekolah supaya ia dapat menyalin jawaban pekerjaan rumahnya ke buku pekerjaan rumah pembulinya yang bernama Chintya.
"Akhirnya selesai," kata Vivi dengan lega. Tepat saat itu Chintya memasuki pintu kelas dan ia mendatangi Vivi.
"Heh Vivi, mana pekerjaan rumahku? Aku harap jawabannya benar. Kalau jawabannya tidak benar, Kau akan kuhajar sampai habis-habisan," ancam Chintya. Vivi hanya diam ketakutan.
"Heh Chintya, jangan Kamu menjadikan Vivi sebagai babumu ya! Kau itu tidak mempunyai hak untuk menjadikannya budakmu," kata sahabat Vivi yang bernama Lanya. Ia membela Vivi.
"La, Lanya, tidak usah Kamu meladeninya, biarkan saja! " kata Vivi pelan kepada Lanya.
"Hehh, berani Kamu ya?" kata Chintya. Kemudian ia mengambil ancang-ancang untuk menampar Vivi.
Grepp! Seseorang memegang tangan Chintya dengan sangat kuat, siapa lagi kalau bukan Vani
"Jangan ganggu kakakku!" kata Vani dengan suara dingin. Kemudian ia mendorong Chintya ke lantai dan ia menginjak tangannya.
"Akhh! Lepaskan!," teriak Chintya.
"Kalau Kau mengganggu kakakku lagi, aku akan mencekikmu," ancam Vani .kemudian dia melepaskan pijakannya dari tangan Chintya. Chintya segera kabur keluar untuk meredakan rasa malunya.
"Thanks ya Vani," kata Vivi.
"Ehehe sama-sama Kakak. Oh iya, ini ada uang buat jajan kakak nanti," kata Vani sambil memberikan uang merah sebanyak lima lembar.
"Ah banyak sekali Vani, aku tidak memerlukan uang sebanyak ini," tolak Vivi secara halus.
"Psst, psst, lihat tuh, masa ia meminta uang jajan kepada adiknya. Apa ia tidak memikirkan adiknya?" terdengar suara dua orang yang sedang menggosipkan Vivi.
"Benar tuh, ia memintanya pun banyak banget, terus caper pura-pura menolak supaya ia dikira baik hati," kata mereka berdua.
"HEH! KAKAKKU TIDAK MEMERAS AKU YA. LAGIPUN AKU YANG MEMANG MAU MEMBERIKAN UANG JAJAN UNTUKNYA DAN KALIAN TIDAK TAHU BAGAIMANA KEHIDUPANNYA DI RUMAH, DI SEKOLAH, DIA ITU…" belum selesai Vani berbicara, Vivi langsung menarik baju Vani pelan.
Ia mengisyaratkan untuk tidak menceritakan kehidupannya. Vani hanya pasrah menghadapi kakaknya yang bersikap seperti ini. Ia selalu diam saat dibuli dan ia selalu menuruti yang diperintahkan oleh pembulinya. Vivi selalu saja mengalah. Namun, Vivi diam bukan berarti dia lemah. Ia hanya menunggu waktu untuk membalas dendamnya.
Kringg!!!! Bel tanda masuk telah berbunyi.
"Kak, jam pertama pelajaran apa?" tanya Vani kepada kakaknya.
"Umm, kalau tidak salah pelajaran matematika, tetapi guru matematikanya lagi sakit. Jadi, kita jamkos deh," jawab Vivi sambil merenggangkan badannya. "Wah, ini kejadian terlangka sih kalau guru matematika tidak datang," kata Vani. "Ya sudah kita ke kantin saja yuk, Kak!" ajak Vani.
"Ehh, tetapi Kakak mau belajar saja deh Vani. Kamu ke kantin bareng temanmu saja ya!" tolak Vivi dengan halus.
"Oke, kalau begitu Vani ke kantin dulu ya!" pamit Vani. Kemudian ia pergi ke kelas yang berada di samping kelasnya untuk menemui teman-temannya. Lalu ia pergi ke kantin.
"Huhh, waktunya pembalasan dendam," kata Vivi sambil tersenyum licik.
* * * *
Saat ini Vivi sedang berjalan ke perpustakaan dan kebetulan Vivi berpapasan dengan Chintya.
"Waktunya pembalasan," batin Vivi.
Vivi mempercepat langkahnya. Ketika Chintya sudah berada di sampingnya, dia sengaja menabrak bahu Chintya. Chintya pun jatuh terduduk.
"Hei, Kau sengaja ya?" teriak Chintya sambil mendorong bahu Vivi.
"Ma..maaf, aku ti..tidak sengaja," kata Vivi dengan suara yang dibuat gugup.
"Halahh, banyak alasan. Sekarang Kamu ikut aku!" teriak Chintya sambil menarik tangan Vivi ke toilet wanita. Kemudian dia mendorong tubuh Vivi dengan keras sehingga tubuh Vivi menghantam dinding.
"Aaww!" teriak Vivi kesakitan.
"Well, gadis culun, Kau tidak akan bisa menang dariku," kata Chintya dengan nada merendahkan.
"Huh, siapa yang Kau katakan gadis culun?" tanya Vivi dengan suara yang berbeda. Kemudian ia melepas ikatan kepangan rambutnya dan ia juga melepas kacamata hitamnya. Wajah Vivi terlihat sangat berubah hingga 100 persen. Ia sangat cantik. Ia menatap tajam Chintya dengan tatapan mematikan.
"Ka..Kau? Siapa Ka...Kau?" tanya Chintya sambil berteriak. Chintya ketakutan.
"Huh, aku Vivi Astana," jawab Vivi dengan tegas. Chintya membulatkan matanya, selama ini ia tidak mengetahui nama lengkap Vivi. Ia juga tidak mengetahui bahwa Vivi adalah anak orang terkaya nomor 3 dan memiliki kasta yang tinggi.
"Well, Kau tahu tidak, ibumu bekerja untuk siapa?" tanya Vivi. Chintya menggeleng lemah.
"Huhh, dia bekerja untukku di sebuah restoran terkenal. Dia kepala koki di sana, tetapi aku yang mempunyai restoran itu. Jadi, Kau tidak perlu repot-repot untuk mengejekku atau semacamnya hanya karena penampilanku ini," kata Vivi dengan nada mengejek.
"Ingat ini Chintya, Kamu jangan menilai orang dari penampilannya dan....," kata Vivi sengaja menggantungkan kalimatnya.
"D..dan?," tanya Chintya dengan gugup. Vivi pun menarik kerah baju Chintya dan ia menyiramnya dengan bekas air pel.
"Diam itu bukan berarti lemah, tetapi menunggu waktu untuk membalas dendam," jawab Vivi. Kemudian ia menjambak rambut Chintya dengan kuat.
"Ingat, jangan Kamu memberitahukan siapapun mengenai hal ini. Cukup kita saja yang mengetahuinya, and you can leave this school," kata Vivi dengan tegas. Chintya hanya mengangguk dan diam.
Vivi kembali mengepang rambutnya menjadi dua dan ia kembali memakai kacamata tebal berwarna hitam.
"Walaupun aku terlihat culun, aku tidak lemah. Hanya karena Kau perempuan makanya aku tidak menghabisimu. Kalau bukan, aku bisa menghabisimu dengan cara seperti ini," kata Vivi. Kemudian dia meninju dinding toilet hingga hancur. Chintya sangat gugup.
"Ah, aku merusak properti sekolah," kata Vivi dengan senyum licik. Kemudian ia mengeluarkan palu di kantongnya dan memukul kuat dinding itu hingga hancur. Kemudian ia menaruh palu tersebut di samping Chintya.
Kemudian Vivi segera mengacak-acak rambutnya dan ia menyiram dirinya dengan air bekas pel sebanyak-banyaknya. Ia membuat wajahnya seperti menangis ketakutan. Guru-guru yang mendengar suara pukulan kuat dari arah toilet langsung berlari ke sana.
"Ada apa ribut-ribut?," teriak guru-guru.
"Hi..hikss," Vivi berpura-pura menangis. Guru-guru segera menghampiri Vivi dan menenangkannya.
"Ada apa Vivi? Apa yang terjadi di sini?," tanya seorang guru yang berada di sana. Vivi hanya menggeleng lemah. Kemudian guru tersebut memeluk Vivi dengan erat. Vivi merasakan kehangatan dari pelukan tersebut. Vivi merindukan kehangatan ini. Ia menangis sekencang-kencangnya. Kali ini ia tidak berpura-pura. Guru lainnya melihat ke arah Chintya.
Guru tersebut melihat palu di samping Chintya.
"Chintya, mari ikut bersama Bapak!" kata guru tersebut. Chintya segera mengikuti gurunya dan ia masuk ke ruang guru.
Vivi menatap lekat wajah sang guru yang sedang memeluk tubuh Vivi dengan erat. Ia juga mengelus rambutnya dengan lembut. Rasanya dia ingin menangis karena perlakuan guru itu. Guru itu sangat baik kepadanya seperti seorang ibu yang sedang menenangkan anaknya. Wajah sang guru sangat mirip dengan Vivi. Mata biru, bibir mungil, rambut coklat keemasan, kulit putih, semuanya sama.
"Vivi, Kamu ke UKS saja ya Nak!" tawar Bu guru Viona.
"Baik, Bu Viona, " kata Vivi dan kemudian ia berjalan sempoyongan ke UKS.
* * * *
Kringg!!!
Bel tanda waktu pulang sekolah sudah berbunyi. Vivi segera pulang dengan berjalan kaki sementara Vani sudah dijemput oleh ayah mereka.
"Sebenarnya aku anak mereka atau bukan sih?" tanya Vivi dengan kesal sambil menatap mobil ayahnya yang melaju di depannya. Tanpa sadar, air matanya mengalir begitu saja.
"Aku tidak mengerti, mengapa orang baik selalu saja dinistakan? Sementara orang jahat selalu mendapat kemenangannya? Huh aku akan membalasnya," kata Vivi dengan suara pelan. kemudian ia berjalan pulang ke rumahnya.
****
"Vivi pulang," kata Vivi. Kemudian ia masuk dan ia segera berlari ke kamar. Ia melihat suatu pemandangan yang mengagetkan dirinya.
"Va..Vani?," panggil Vivi dengan gugup.
"A-ahh ka-kakak sudah pu-pulang, wahh ketahuan ya? A-aku sedang me-menge-cas di-diriku sendiri, Kak," jelas Vani.
"Baterai sudah penuh, pengecekan selesai," ucap sistem yang mengecas baterai Vani.
"Ka-Kau robot?" tanya Vivi dengan nada tidak percaya. Vani hanya mengangguk.
"Maafkan aku, Kak. Aku merahasiakannya darimu," kata Vani dengan nada menyesal.
"Karena Kakak sudah mengetahui rahasiaku, sepertinya orang tua Kakak harus memberitahukan sebuah rahasia penting kepada kakak. Tugasku untuk menjaga kakak sudah selesai. Selamat tinggal, Kak," kata Vani dengan suara khasnya.
"Sistem off untuk selamanya," ucap sistem itu. kemudian Vani menghilang untuk selamanya.
Vivi segera berlari ke arah orang tuanya. Terlihat ibunya sedang menangis tersedu-sedu di sofa. Kemudian ia melihat ke arah ayahnya yang sedang diam mematung di sana.
"Vivi, hiks, maafkan Ibu, Nak, selama ini ibu kasar kepadamu," kata sang ibu sambil memeluk erat Vivi. Ayahnya juga memeluk erat Vivi.
"Ada apa ini? Mengapa Kalian menangis? Mengapa kalian tiba-tiba meminta maaf? Mengapa Vani pergi begitu cepat?" tanya Vivi terburu-buru. Belum sempat ibunya menjawab pertanyaan Vivi, Vivi sudah jatuh pingsan dan ia tergeletak di lantai.
"VIVI! YAH, TELEPON AMBULAN CEPAT!" teriak ibunya kepada ayahnya. Ayahnya pun segera menelepon ambulan.
****
"Uhh, kepalaku pusing sekali," kata Vivi dengan suara pelan.
"Ayah, Vivi sudah sadar, Yah," teriak ibu kepada ayahnya.
"Vivi, Kamu tidak apa-apa kan, Nak? Kamu baik-baik saja kan Nak? Ibu khawatir kepadamu," kata ibunya dengan nada khawatir.
"Ibu, haruskah aku sakit terlebih dahulu supaya diperhatikan oleh kalian?" tanya Vivi sambil menangis terisak-isak. Ibu Vivi yang mendengar ucapan itu langsung memeluk erat tubuh Vivi.
"Maaf ya, Ibu benar-benar khilaf," kata sang ibu sambil menahan air matanya.
"Permisi dokter, anak saya sudah bisa pulang kan dokter?" tanya Ibu Vivi.
"Ya, kondisinya dijaga ya Bu! Terus untuk Kamu Vivi, Kamu jangan terlalu banyak begadang, istirahat dan Kamu harus banyak minum air putih ya!" saran dokter kepada Vivi.
"Baik dokter," kata Vivi.
****
Saat ini Vivi dan keluarganya sedang duduk di sofa.
"Vivi, ada yang hendak ibu beritahukan kepada Kamu," kata Ibu Vivi. Kemudian ia mengambil sebuah album berwarna biru yang berdebu. Lalu sang ibu mengambil salah satu foto yang ada di album tersebut.
"Nak, apa Kau mengenal ini siapa?" tanya ibu kepada Vivi.
"Umm, itu guruku, Bu," jawab Vivi dengan sopan.
"Dia ini adalah ibumu, ibu kandungmu. Kami membuat robot yang sama sepertimu supaya Kamu percaya kami ini keluarga aslimu. Sekarang Kau sudah besar, jadi kami harus mengembalikanmu kepada ibu kandungmu," kata ibu Vivi yang bernama Julieta.
"Viona, Kau sudah boleh masuk!" kata Julieta. Kemudian seseorang masuk dan ia menghampiri Vivi serta memeluk tubuhnya dengan erat.
"Vivi, akhirnya Kau kembali lagi ke pangkuan Mama, Nak," kata Viona sambil menangis.
"Ma..mama..," kata Vivi sambil menangis juga.
"Ya sudah, ayo kita pulang! Julieta, terima kasih Kau sudah menjaga anakku. Selama ini, Vivi, sebenarnya namamu Liciana Gerald," kata Viona sambil memberitahu nama asli Vivi. Vivi cukup terkejut karena Marga Gerald adalah marga orang kaya nomor 1 di dunia dan marga itu juga memiliki kasta yang sangat tinggi, lebih tinggi daripada marga siapapun.
Akhirnya Viona dan Vivi pulang ke rumah mereka dengan perasaan sangat berbahagia.
—Tamat—
Komentari Tulisan Ini
Tulisan Lainnya
MEMBACA SENYAP MTsN SABANG
Membaca senyap MTsN Sabang edisi Selasa, 8 November 2022. Membaca senyap merupakan salah satu program Literasi MTsN Sabang dari sekian banyak program literasi lainnya. Membaca Senyap d
Rerubangga MTsN 1 Sabang Menuju Siswa Berprestasi Dan Berkarya Oleh Sri Nilawati, S.Ag
Rerubangga MTsN 1 Sabang Menuju Siswa Berprestasi Dan Berkarya Oleh Sri Nilawati, S.Ag Tangga mer
Apel
Apel Siang ini terasa terik sekali matahari membakar wajah ku yang sudah semakin legam terbak
Duka
Duka hadirnya tak terduga sering tak didamba menghadapi Duka dengan sabar adalah Pahala bagi mereka yang percaya Kadang duka menghampiri saat hari begitu indah hingga air
Ayah
Ayah Aku tak pernah ingat hangat belaian tangan kekar mu namun aku percara Engkau selalu membelaiku Karena aku dapat merasakannya Hari ini usia ku bertambah “bukan bertamba
Yang Terabaikan
Yang Terabaikan Mengapa engkau melakukan apakah hanya karena mengejar penghargaan segera hentikan jika itu yang menjadi alasan Seberapa penting alasan itu jangan pernah en
Tulang Rusuk
Tulang Rusuk wahai engkau sang tulang rusuk berakhir sudah kini di hari Sabtu 29 Agustus 2020 Engkau tak pantas lagi menjadi tulang rusuk Menangis darah pun engkau Mulai hari ini
Sujud
Sujud ada rasa nyaman yang menyelimuti saat kening menyentuh bumi memuja Mu Ya Ilahi Rabbi ada hampa yang menghampiri jika terlambat aku mengadu melepas resah yang meliput
Sahabat
Sahabat kalian selalu ada bersama ku tersenyum dan menangis bersama kadang marah kadang canda sering kita galau bersama Sahabat Seakan tak berbatas rasa Saat kita saling berbagi
